Senin, 25 Juni 2012

Demokrasi ala RT : Tingkatkan Partisipasi Warga dengan Libatkan Ibu-ibu dan anak-anak


Ibu-ibu dan anak-anak berkumpul di lapangan,
menunggu hasil pemilihan ketua RT
Bila ditanyakan kepada warga siapa mau jadi Ketua Rukun Tetangga (RT)? Hampir pasti tidak ada warga yang secara sukarela menyatakan diri kesediaannya untuk menjadi Ketua RT. Maka saat sang incumbent sudah tidak bersedia lagi menjabat muncul masalah untuk mencari penggantinya. Situasi seperti ini juga dihadapi oleh warga RT 05 RW 05, Perumahan PLTA Tulis Desa Binorong, yang Minggu (10/06) melakukan pemilihan RT.
Menurut Ketua Penyelenggara, Sudirman (60 th) yang sekaligus pejabat incumbent ketua RT, bila dibiarkan maka dirinya yang sudah sepuh dan sudah 10 tahun menjabat tidak akan ada yang mau mengganti. Sudah kesekian kali dicoba untuk memilih dan menunjuk Ketua RT, namun selalu gagal dengan sejumlah alasan.
Oleh karena itulah dicari cara agar warga mau dan bersedia mendukung pelaksanaan pemilihan ketua RT. “Untuk membujuk semua warga agar bersedia datang dilakukan dengan cara melibatkan ibu-ibu dan anak-anak dalam kegiatan ini. Kalau ibu dan anak sudah datang, masa Bapak dan anggota keluarga lainnya tidak mau datang” katanya diplomatis.
Ibu-ibu tidak saja sebagai pemilih aktif, namun juga sebagai pendukung suksesnya acara ini. Sementara pemungutan suara dilaksanakan di GOR Badminton, Ibu-ibu menyiapkan makanan untuk seluruh warga yang datang untuk memilih. Dengan dipandu Ibu-Ibu, kegiatan anak-anak diisi dengan berbagai lomba berhadiah yang dilaksanakan di Lapangan Tenis dekat lokasi pemilihan. Diantaranya lomba masukan ballpoint ke dalam botol, lomba jogged, dan lomba kelereng.
“Makan, minum, es dawet, es krim, dan juga hadiah merupakan wujud donasi dari sejumlah warga mampu untuk mendukung pelaksanaan kegiatan ini” katanya.
Pelaksanaan pemilihan ketua RT dilaksanakan secara terbuka dan diselenggarakan layaknya pemilihan umum. Selain peralatan wajib penyelenggaraan Pemilu, di tempat pemilihan juga terpampang foto calon beserta nomor urutnya. Bedanya dalam hal ini, kata Sudirman, penentuan Calon tidak dilaksanakan secara suka rela namun diputuskan berdasarkan  hasil musyawarah RT sebelumya. Sedangkan untuk penentuan jadinya, dilakukan dengan pemilihan terbuka. “Agar jabatan Ketua RT dirasa tidak terlalu memberatkan, Musyawarah warga menetapkan lamanya jabatan ketua RT selama empat tahun. Dan untuk sesudahnya dilakukan pemilihan kembali” katanya.
Rupanya cara ini terbilang cukup ampuh. Dari 149 warga yang tercatat sebagai Pemilih Tetap, hadir 139 (90 %) warga. Sehingga pemilihan ketua RT yang dibatasi waktu pemungutan suara sampai pukul 11.00 tercapai quorum. Heri Suharyana (47 th), Guru SMK N Bawang terpilih dengan 67 suara mengalahkan tiga calon lainya.
Kepala Desa Binorong yang ikut menghadiri pemilihan tersebut, Amrulloh menyatakan dalam hal pemilihan Ketua RT ini, bagaimana mekanismenya, pihaknya menyelenggarakan sepenuhnya kepada keputusan warga. Yang penting bagi desa adalah jika jabatan ini kosong agar segera diisi agar komunikasi antara Pemerintahan Desa dengan warga berjalan dengan baik. Pihaknya menyadari bahwa jabatan ketua RT ini memang tidak dibayar dan sifatnya sukarela. Namun keberadaan ketua RT ini penting dalam rangka pembinaan warga.
“Saya dapat memahami manakala saat ada pemilihan Ketua RT lebih banyak warga yang menolak daripada menerima. Karena Ketua RT ini sepertinya merupakan jabatan yang lebih banyak urusan socialnya. Seorang Ketua RT tidak hanya harus siap menerima tugas tambahan, namun juga harus siap untuk nombok” katanya. (**--ebr)

Bidan Asrinah : “Obsesi Saya, Bidan Di Banjarnegara Berpendidikan Tinggi”


Bidan Asrinah dengan buku-buku hasil karyanya
Pakar administrasi Negara pernah menulis bahwa salah satu cirri PNS yang membuat SDM PNS tidak berkembang optimal karena PNS cenderung tidak kreatif, monoton, kaku, dan terpaku pada system. Agaknya tesis mereka berdua tidak berlaku bagi Asrinah, S.Si.T., M.kes, Ibu tiga anak PNS di kantor DKK Banjarnegara yang beralamat di Perum Gayam Permai Gg Bima No. 25-26 Banjarnegara.
Diantara kesibukannya sebagai PNS, istri Drs. Bambang Budi Setiono, M. Pd., Kepala Sekolah SMPN 2 Banjarnegara ini bersama koleganya mampu melahirkan lima buah buku yang bertemakan kebidanan yang menjadi keahliannya. Kelima judul bukunya adalah “Menstruasi dan Permasalahannya”, “Asuhan Kebidanan Masa Kehamilan”, “Asuhan Kebidanan Masa Persalinan”, “Konsep Kebidanan”, dan “Nyontek Aja Lagi”.
Buku “Nyontek Aja Lagi” yang ditulis bersama mahasiswanya di Politeknik Banjarnegara menggunakan konsep penulisan gaul ala anak muda era sekarang. “Bahasanya lu-gw. Biar gampang dipahami. Judulnya dibuat menarik agar orang membeli. Jadi sudah marketable. Tapi isinya tentang motivasi untuk mencontek dalam hal kebaikan, yaitu mencontek kesuksesan orang lain” katanya.
Tak tanggung-tanggung semua bukunya diterbitkan oleh penerbit ternama. Pemasarannya pun sudah masuk di jaringan toko buku terkemuka di negeri ini.
Kini satu buah buku lagi hampir  diselesaikannya yang mengupas pengalaman bidan di lokasinya bertugas di wilayah Banjarnegara ini. “Kita ambil sejumlah sample penelitian di wilayah tugas Bidan yang ekstrim yang ada di pelosok Kalibening, Susukan, dan Purwonegoro. Saya ingin memaparkan analisa saya bahwa kunci kesuksesan tugas bidan itu ada pada kemampuan komunikasinya dengan masyarakat setempat” katanya.

Titik Balik
Di perjalanan hidup seseorang selalu saja ada saat-saat sulit yang kadang hadir tanpa kita mampu menolaknya. Seperti halnya yang dialami Asrinah, perempuan kelahiran Magelang pada 11 Mei 1969 ini. Keinginannya untuk menjadi guru tertunda saat tengah asyik menekuninya di Sekolah Pendidikan Guru Magelang, justru Ia diminta keluar untuk bersekolah di Sekolah Perawat Kesehatan..
“Ini memang seperti titik balik bagi saya yang harus menunda cita-cita saya mengajar. Orang tua saya miskin dan mempunyai anak lima. Saya anak ketiga. Waktu itu SPK memberi tawaran untuk sekolah gratis karena ada Ikatan Dinas. Oleh orang tua, saya diminta untuk masuk SPK. Meski berat, tapi saya memaklumi alasanya. Bila saya dapat masuk SPK, ini akan meringankan beban ekonomi keluarga” katanya.
Selepas lulus dari SPK tahun 1988, sementara menunggu Penugasan Ikatan Dinasnya keluar, Asrinah memanfaatkan waktunya untuk bekerja sebagai Staf Damiyanti medical clinic Bali. Di tempat kerjanya ini, Ia menjadi satu-satunya perawat yang memberi pelayanan medis bagi orang-orang Asing yang menjadi relasi tempatnya bekerja. Tanpa disangka, karena pekerjaannya itu, Ia justru mendapat kesempatan langka yang tidak diperoleh setiap orang yaitu kesempatan untuk dapat melanglang buana ke sejumlah Negara seperti Singapura, Australia, Thailand, Phlipina, dan sejumlah Negara Eropa.
“Pengalaman unik saya waktu kerja di tempat tersebut adalah mengantar orang Dieng yang suaminya orang Australia. Meski bayinya yang berumur 3 bulan sehat, tapi mereka tetap minta didampingi perawat selama dalam perjalanan. Jadi sepanjang perjalanan itu, saya hanya duduk dan menemani. Komunikasi saya pun lebih banyak dengan istrinya yang orang Jawa. Bahasanya pun Jawa. Jadi yang mudeng ya Cuma kami berdua..ha..ha..” tuturnya.
Akhirnya panggilan tugas Ikatan Dinas datang juga. Karena sudah Ikatan Dinas maka kenyamanan kerja di Damiyanti medical clinic Bali pun harus ditinggalkannya. Karir PNS dimulai pada tahun 1993 sebagai pelaksana perawatan puskesmas Garung, Wonosobo. Belum lama bertugas, Ia kemudian dipindah ke Puskesmas 2 Kalibening pada bulan April 1993.
Di tempat tugasnya yang baru ini Ia menemui kenyataan yang memprihatinkan dimana mayoritas masyarakat di wilayah tempatnya bekerja melakukan persalinan di rumah tanpa didampingi tenaga kesehatan. “Waktu itu hanya ada satu orang bidan yang melayani 8 desa. Kondisi ini sungguh sangat memprihatinkan, karena tidak mungkin satu orang bidan mampu melayani 8 desa tersebut. Inilah yang mendorong saya waktu itu untuk menempuh pendidikan lanjutan di DI Kebidanan” katanya.
Semangatnya yang besar dan kecintaannya pada ilmu dan pengetahuan membuatnya mampu melalui jenjang pendidikan kebidanan dengan baik bahkan meraih sejumlah prestasi. DI Pendidikan Kebidanan lulus tahun 1995, DIII Kebidanan  lulus tahun 2002, D IV Kebidanan lulus tahun 2005, dan Pendidikan terakhirnya adalah Pasca Sarjana Managemen Kesehatan Ibu dan Anak UNDIP Semarang, lulus tahun 2009. “Saya juga tidak mengira karena pendidikan saya akhirnya saya dapat kesempatan mengajar di berbagai AKBID” katanya.
Asrinah aktif mengajar sebagai dosen di Politeknik Banjarnegara sejak lembaga Perguruan Tinggi ini berdiri di tahun 2008. Sebelumnya Dia tercatat juga mengajar di sejumlah lembaga kebidanan di Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Magelang, dan Yogyakarta. Namun sebagai Tim Penguji kelulusan Bidan, Asrinah masih terlibat aktif di sejumlah Akbid.
“Sekarang saya hanya focus mengajar di Polibara karena saya ingin berbagi ilmu dengan teman-teman seperjuangan saya para bidan di Banjarnegara.” Katanya.

Obsesi
“Obsesi saya adalah seluruh bidan di Banjarnegara mempunyai pendidikan tinggi dan loyal mengabdi pada Banjarnegara. Saya yakin pendidikan tinggi bagi bidan tersebut akan mengubah sikap dan perilakunya dalam memberi pelayan yang lebih baik bagi masyarakat. Dan dampak dari ini adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itulah saya rajin mengkompori teman-teman Bidan untuk meningkatkan kualifikasi pendidikannya. Wong saya yang berangkat dari Di Kebidanan juga bisa meraih pendidikan tinggi, karena itu saya yakin teman-teman juga bisa. Sedangkan loyalitas pada daerah yang saya inginkan adalah jangan sampai ketika pendidikan tinggi dan pengalaman telah diraih terus pindah” begitu jelas perempuan ayu yang sekarang ini menjabat sebagai Kepala seksi Kesehatan Ibu dan Anak pada DKK.
Saya optimis, lanjutnya, obsesi saya tersebut lebih cepat tercapai. Hal ini tidak lepas dikarenakan semangat belajar teman-teman bidan di Banjarnegara terhitung tinggi. “Sehingga berdasarkan data Bidan yang tengah menempuh pendidikan tinggi sekarang ini, kita optimis pada tahun 2013, seluruh Bidan aktif di Banjarnegara telah mempunyai kualifikasi lulusan DIII” katanya. (**--ebr)

Penjual Daging Ayam Petis Keliling Naik Haji

Yu Timah di tengah calon jamaah haji th 2012
Ada yang berbeda pada saat Pembukaan Manasik Masal Calon Jamaah Haji Kabupaten Banjarnegara Tahun 1433 H / 2012 M yang diselenggarakan beberapa waktu lalu di Pendopo Dipayudha Adigraha. Khusnul Khotimah warga RT 02 RW 04 Desa Kalipelus, Kecamatan Purwonegoro, yang popular dipanggil Yu Timah di kalangan pembeli ayam petis di Lingkungan Pemkab, menjadi satu diantara 704 Calon Jamaah Haji Kabupaten Banjarnegara yang ikut kegiatan Manasik Masal. Wabup Drs. Hadi Supeno, M. Si., dan istri Hj. Sakinatun pun sempat memberinya ucapan selamat, sehingga kejadian tersebut cukup menarik perhatian calon haji lainnya.
“Jaga kesehatan, karena ibadah Haji banyak mengandalkan aktivitas fisik. Jangan sampai niat pergi haji yang lama terpendam gagal karena tidak disiplin dalam menjaga kesehatan” begitu pesan singkat Wabup saat menyapanya.
Menurut Timah yang tidak tamat SD ini mengisahkan, keinginannya untuk naik haji sudah muncul  semenjak dirinya masih remaja. Meskipun bila mengingat waktu itu, keingingannya itu sepertinya sangat sulit diwujudkan namun dalam hati Ia tetap mewujudkan niatnya, meski entah kapan terwujud. Saat itu, Ia juga belum punya gambaran sama sekali darimana Ia akan memulai mewujudkan tekadnya. Apalagi Ia yang anak kelima dari tujuh bersaudara bukanlah berasal dari keluarga kaya.
“Yang penting niat itu saya ugemi kuat-kuat dalam hati. Dan pada setiap kesempatan sehabis sholat saya selalu berdoa agar Allah SWT mengabulkan niat saya ini” katanya.
Untuk memupuk motivasinya pergi Haji, Timah yang diserahi Ibunya untuk meneruskan usaha keluarga jual daging ayam sejak usianya 16 tahun ini, selalu berupaya untuk silaturahmi dengan tetangga atau kenalannya yang hendak pergi haji dan setelah pulang haji.
“Setiap kali saya meminum air zam-zam oleh-oleh dari pulang haji, perasaan kerinduan yang besar untuk bisa berziarah ke tanah suci selalu mampu membuat air mata ini menetes…Ya Allah kapan waktu bagi hamba tiba…” katanya lirih mengingat saat itu.

Wujudkan Niat
Yu Timah saat jualan ayam petis

Pada bulan November tahun 1998., setelah meminta ijin pada suami, Timah mewujudkan impiannya untuk naik Haji dengan menabung ONH di salah satu Bank ternama. Sebetulnya, saat mengutarakan keinginan untuk pergi haji Timah berharap dapat pergi dengan suami, namun dengan alasan belum ada panggilan suami mengijinkannya untuk pergi dahulu.
Dan semenjak itu, setiap bulan Ia tidak pernah alpa untuk menyisihkan sebagian rejekinya dari menjual daging ayam petis keliling.
“Setiap bulan saya menyisihkan hasil usaha saya dari mulai Rp 100 rb, Rp 300 ribu, atau lebih besar dari itu. Pokoknya saya selalu berusaha menyisihkan uang tiap bulannya untuk ditabung” katanya.
Rupanya niatnya untuk Haji tidak bertepuk sebelah tangan, makin lama dagangan ayam petis yang Ia bawa juga makin banyak pemesannya. Perkembangan yang menggembirakan ini Timah sambut baik dengan menambah modal dagagannya.
Kini, setiap hari antara pukul 05.30 sampai dengan pukul 12.00 siang, Timah berangkat menuju kota Banjarnegara untuk menjajakan 45 bungkus daging ayam petis dagangannya. Selain menjajakan di lingkup perkantoran, Timah menjajakan dagangannya ke wilayah Kampung Krandegan, Perumahan Limbangan Sokanandi, Perumahan Gemuruh, dan Kampung Kutaringin.
“Namun tidak selalu harus begitu. Kalau sekiranya dagangan saya telah habis di Kutaringin, atau lingkup perkantoran, ya saya tidak keliling, tapi langsung pulang. Itu wilayah yang biasa saya jualan. Dan setiap kali juga saya gilir mulainya. Hari ini dari Limbangan, maka esok dari tempat lain. Begitu agar selang seling” katanya.
Timah, Ibu satu anak ini berharap, bahwa niatnya pergi haji ke tanah suci hanya satu yaitu mengharap Ridhlo dari Allah SWT. Menjadi hajjah yang mabrur dan mabrururoh. “Selain itu saya ingin mendoakan agar suami tercinta juga cepat terpanggil mengikuti jejaknya ziarah ke tanah suci. Amin” pungkasnya. (**--ebr)

Heri Tatto, Modifikator Motor Ekstrem Handal : Bangga Bawa Nama Banjarnegara

Heri Tatto saat memodifikasi salah satu motor ekstremnya
Nama lengkapnya sebenarnya Heri Sutrimo (37 th), pria beranak dua asli Kampung Rejasa, kelurahan Rejasa, kecamatan Madukara. Tapi karena hampir seluruh badanya dipenuhi Tatto akhirnya rekan-rekanya menujulukinya Heri Tatto. Julukan ini justru kemudian lebih popular sebagai nama professionalnya saat menekuni pekerjaan airbrush yang ditekuninya hingga kini.
“Saya mulai belajar airbrush secara otodidak sejak kelas 2 SMA. Kira-kira tahun 1994” kata Heri, Rabu (06/06), mengisahkan awal mula menekuni airbrush.
Waktu itu, sambungnya, di Banjarnegara hanya ada satu tukang airbrush di Lempong, Krandegan. Dalam pandangan saya, keterampilan airbrush sangat menarik dan luar biasa sehingga mendorong saya pengin bisa. Setiap hari saya maen ke sana dan mengamati sejak awal bagaimana proses pengerjaannya. “Selalu saja saya heran, kemarin motor baru dicat tahu-tahu esoknya sudah digambari dengan gambar-gambar yang sangat menarik. Ini bagaimana caranya” katanya.
Saya pikir, kalau terus hanya mengamati kapan bisanya. Saya harus nekad memulai bila ingin bisa. Apalagi waktu itu saya telah menikah muda dan belum punya pekerjaan tetap. “Maka dengan modal kalung dan gelang milik istri yang saya gadaikan, saya membeli peralatan air brush. Sementara untuk kompresor, saya masih pinjam milik teman” katanya.
Pelanggan pertamanya datang dari Gunung Giana, Madukara, yang mengecatkan Mobilnya. Perlahan dari promosi getok tular antar teman dan pelanggan yang dilayaninya, usaha yang berawal dari upaya nekadnya tersebut mulai berkembang dan berjalan dengan baik.

Awal Mula Menekuni Modifikasi Motor
Pada sekitar tahun 2005-an, kata Heri, Ia kedatangan pelanggan yang masih satu desa dengannya yaitu dari dusun Legok. Ia habis membeli motor Honda Astrea 800 lawas dan minta dicat ulang agar penampilannya menarik. Kebetulan saat itu, Ia tengah getol-getolnya membaca majalah motor luar negeri hadiah dari pamannya. “Majalah luar negeri tersebut, berisi banyak gambar motor-motor modifikasi ekstrem. Nah, saya tertarik untuk mencoba membuatnya, namun dengan gaya saya” katanya.
Waktu pemilik motor saya tawari bagaimana jika motornya saya ubah menjadi bergaya ekstrem tidak hanya mengecat saja. “Tak disangka, ternyata pelanggan menyetujui. Maka modifikasi itu menjadi motor modifikasi yang pertama saya buat” katanya.
Sedangkan yang saya maksud dengan gaya saya, sambungnya, adalah saya meniru model ekstrem di majalah namun tidak persis sama. Saya gabungkan sejumlah model ke dalam kreasi saya. Kadang masih tambahi dengan kreasi sendiri yang muncul saat mengerjakannya. Baik karena muncul ide untuk membuat model sendiri, menyesuaikan dengan model kendaraan yang saya garap, maupun menyesuaikan dengan ketersediaan bahan.
“Untuk kreasi ini ide dan bahan bisa datang dari mana saja. Dari mengelupas shocbreker, memlintir jeruji, menggunaan piringan sepeda, lampu sepeda, membuat tangki bahan bakar sendiri, menggunakan ban motor yang lebih besar, membuat stang tinggi, dan seterusnya” katanya.
Akhirnya motor modifikasi pertama saya itu jadi. Namun karena ada yang suka, oleh pemiliknya motor itu dijual lagi dengan harga yang jauh lebih tinggi. Sebagai pembuatnya, kata Heri, saya juga bangga karena ternyata ada orang yang menghargai lebih kreasi saya. “Sejak itu, saya mulai ketagihan untuk memodifikasi motor ekstrem. Saya minta orang tua untuk membelikan motor lawas, saya bongkar, lalu saya modifikasi sendiri” katanya.

Bawa Nama Harum Banjarnegara
Awal mula saya ikut kejuaraan pada sekitar tahun 2007-an. Itupun lebih karena tidak sengaja dan bukan karena kemauan saya sendiri. Saat itu ada kejuaraan modifikasi di Purwokerto. Kebetulan waktu itu saya lagi punya motor modifikasi sendiri yang saya buat dari motor jenis Honda Astrea 800. Melihat adanya peluang, teman-teman mendorong saya untuk ikut. Kata teman-teman motor saya layak lomba dan lagian ada lomba untuk kategori ekstrem.
“Terus terang waktu itu saya tidak Percaya diri. Ing ngatase saya yang dari kampung dan hanya belajar modifikasi sendiri kok mau ikut lomba. Namum teman memaksa terus, jadi motornya saya ikhlaskan untuk ikut, namun saya tetap di rumah. Yang ikut lomba teman saya tapi atas nama saya” katanya.
Tak disangka, motor saya keluar jadi pemenang pertama untuk kategori ekstrem di lomba tersebut. Sejak itu, saya punya kepercayaan diri untuk mengikuti lomba. “Dari 15 kejuaraan lomba yang saya raih, 8 kejuaraan merupakan kejuaraan berskala nasional. Terakhir saya meraih kejuaraan nasional di Honda Otocontest 2011 yang diselenggarakan pada tanggal 4-5 Juni 2011 di Malioboro Mall Yogyakarta untuk kategori The Superb Jap’s Style” katanya.
Pria yang motor modifikasinya beberapa kali masuk menjadi cover depan media otomotif nasional ini mengaku mempunyai strategi sendiri setiap mengikuti lomba modifikasi. Pilihannya untuk memodifikasi motor-motor lawas ini bukan tanpa alasan. “Kalau saya memodifikasi motor-motor baru, banyak orang sudah tahu mesinnya dan banyak saingannya. Lagi pula komponenya selalu baru. Jika tidak kuat di modal, kita akan kalah. Memodifikasi motor baru itu sarat modal, namun jika motor lawas itu sarat seni dan kreasi” katanya.
Hal terindah dari pengalaman saya terjun dalam modifkasi motor ini adalah saat nama dan motor saya dipanggil ke Panggung. Ada satu kejuaraan yang saya ingat sangat berkesan yaitu Kejuaraan Modifikasi Motor Djarum Blak Motidify yang diselenggarakan di Bogor, Jawa Barat. Waktu itu motor saya memenangkan juara pertama untuk kategori The Best Stunning Chooper.
“Saya berkreasi dengan mesin motor CB 175 yang langka yang saya beri nama CB 175 Chopper Rock Roll. Meski setelah lomba ada orang yang menawar tinggi motor itu, tetap saya tidak jual. Saya masih saying dengan motor ini” katanya.
Kejuaraan ini, lanjutnya, diikuti oleh peserta dari seluruh Indonesia dengan motor modifikasi yang bagus-bagus. Tapi saya mampu mengambil celah di kelas ekstrem. Beruntungnya di event akbar tersebut, saingan saya dari kota lain keder dengan motor modifikasi saya. Mereka bertanya-tanya ini mesin motor apa. Karena hampir pasti saya juara, maka dengan bangganya saya keliling arena.
Dan saat nama dan motor saya dipanggil ke panggung, saya senang sekali. Nama saya dan kota asal saya disebut di antara ratusan modifikator nasional. Nama Banjarnegara seperti terselip muncul diantara himpitan modifikator dari kota-kota besar.
“Untuk kelas modifikasi ekstrem…pemenangnya adalah Heri Sutrimo dari Banjarnegara, Jawa Tengah….Ingat saat seperti itu, saya selalu bangga. Itu penghargaan tertinggi bagi saya dalam menggeluti modifikasi motor ini. Saya bangga karena saya menjadi seseorang yang membawa nama harum Banjarnegara di arena nasional seperti itu…” katanya mengisahkan saat membanggakan tersebut. (**--ebr)